Dunia Coaching tampaknya mulai menggeliat di akhir-akhir ini. Entah apa yang membuat Coaching menjadi tampak “sexy”, walaupun fenomena Coaching sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, setidaknya di dunia olah raga kita sudah sangat akrab dengan istilah “Coach”. Bahkan aktivitas Coaching-pun walaupun mungkin dengan nama yang berbeda, sudah merupakan bagian yang terpisahkan dari aktivitas di lingkungan Human Resources.
Apa pula yang membedakan Coaching dengan berbagai aktivitas yang mungkin agak mirip, seperti Training, Mentoring, Consulting, bahkan terapi ?
Konon aktivitas Coaching memiliki ke-khas-an tersendiri, yaitu sangat Client-Centered dan mengutamakan kekuatan menyimak yang ditindak-lanjuti dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghubungkan berbagai data yang sudah tersimpan di diri Client (dalam hal ini disebut sebagai Coachee), sehingga memunculkan “aha” effect :
“Aha, saya tahu !”
Konon ini sejalan dengan pemikiran sang filsuf Socrates, bahwa pada dasarnya setiap orang dilahirkan “cerdas” !
Satu hal yang sering ditanyakan, adalah apa perbedaan antara Coaching dan terapi ? Dan biasanya dijawab dengan pertanyaan sederhana (walaupun mungkin kurang tepat), yaitu : terapi adalah aktivitas untuk membawa seseorang yang berada di kondisi “minus” ke kondisi “nol” (netral), dan Coaching adalah aktivitas untuk membawa seseorang yang sudah berada di kondisi “nol” ke kondisi “plus”. Faktanya pada hari juga terdapat juga aktivitas Coaching untuk menangani mereka yang memiliki kasus psikogis, sehingga muncullah terminologi “Pychological Coaching”.
***
Jauh sebelum Coaching menjadi demikian “sexy” seperti pada hari ini, sekelompok orang yang terdiri dari para terapis, pekerja sosial, dll. menggulirkan paradigma terapi baru sebagai bentuk koreksi dari terapi psikologi yang telah menjadi standar de-facto sebelumnya yaitu terapi yang didasari oleh teori psikoanalisa Freud, yang membutuhkan sesi sangat banyak dan bertele-tele. Tercatat salah satu kelompok yang sangat aktif adalah Mental Research Institute (MRI) atau dikenal juga sebagai kelompok “Palo Alto” yang didirikan pada tahun 1958 di Amerika.
Selanjutnya sekelompok orang yang dimotori oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg memisahkan diri dari MRI untuk menggulirkan gagasan suatu metode Brief Therapy yang lebih sistematis yang kelak dikenal sebagai Solution Focused Brief Therapy (SFBT).
Jika metode psikoanalisa lebih fokus mengutak-atik permasalahan, dan akar permasalahan di masa lalu, maka SFBT bertolak belakang 180 derajat, yaitu lebih fokus kepada hari ini dan masa datang, serta lebih mengekplorasi apa yang menjadi “outcome” dari Client. Disebut sebagai “brief”, karena terapi ini mengutamakan faktor “keringkasan” yang menjadi ciri pragmatisme Amerika.
Metode utama SFBT adalah mengeksplorasi sumber-daya Client melalui berbagai pola pertanyaan. Beberapa pattern pertanyaan standar SFBT antara lain :
- Miracle Questions
Pola pertanyaan untuk menggali Outcome yang akan dicapai oleh Client
- Scalling Questions
Pola pertanyaan untuk memandu Client untuk melakukan pengukuran atas kondisi saat ini dan kondisi yang akan dicapai
- Coping Questions
Pola pertanyaan untuk menggali hal-hal apa saja yang pernah dilakukan Client dalam rangka mengatasi permasalahannya.
- Exception Questions
Pola pertanyaan untuk menggali kemungkinan terdapatnya ekselensi Client yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai Outcome-nya pada saat ini.
Secara sederhana SFBT benar-benar menempatkan terapis sebagai seorang fasilitator untuk merangkai seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh Client dan mendorong Client agar menyadari kekuatannya sendiri untuk mencapai Outcome yang diinginkan.
***
Dari uraian di atas, bagi mereka yang mungkin pernah mempelajari teknik Coaching terkini, akan melihat benang merah yang sangat jelas antara metode yang diterapkan di SFBT dengan metode Coaching yang juga mengedepankan kekuatan pertanyaan untuk menggali sumber daya dan sekaligus memahami peta mental Client atau Coachee.
Bahkan saya berani mengatakan bahwa, SFBT untuk mereka yang sehat adalah Coaching, sedangkan Coaching bagi mereka yang bermasalah adalah SFBT.
Tentu saja dalam perkembangannya lebih jauh, pasti SFBT dan Coaching memiliki teknik-teknik dan strategi spesifik yang akan menjadi ciri masing-masing. Tetapi tetap saja keduanya ,menggunakan paradigma filosofi yang sama, yaitu pernyataan Socrates :
“Pada dasarnya setiap orang dilahirkan cerdas !”.
Silakan direnungkan ……
***