Ketika baru dilahirkan, sebagai seorang bayi, manusia nyaris tidak memiliki kemampuan apapun, selain bereaksi secara naluriah dasar. Perlahan-lahan manusia mulai belajar berbagai hal, bukan saja tentang keterampilan, tentang pengetahuan, bahkan tentang sikap dan perilaku.
Pada dasarnya semua yang dimiliki oleh seseorang pada hari ini adalah merupakan hasil pembelajaran selama bertahun-tahun, bahkan sebagian besar berlangsung tanpa terlalu disadari prosesnya.
Memang tidak semua pembelajaran membutuhkan waktu yang lama atau bertahun-tahun, karena ada beberapa pembelajaran cepat yang berlangsung hanya sekian detik tetapi membuat seseorang terampil, misalkan belajar menjadi Phobia. Seringkali Phobia dipicu oleh suatu kejadian yang sederhana dan singkat, tetapi menghasilkan ekselensi manusia yang disebut dengan Phobia.
Lho, kenapa Phobia dikatakan sebagai ekselensi ? Ya, apapun yang sudah berada di tingkatan mastership, entah itu hal baik atau hal buruk, menandakan adanya suatu ekselensi, walaupun mungkin ekselensi ini tidak diinginkan.
Walaupun dari penjelasan di atas terdapat pembelajaran yang tidak membutuhkan waktu lama, akan tetapi pada umumnya, lebih dari 90% kemampuan, pengetahuan, perilaku, bahkan kecenderungan yang terdapat di dalam diri kita, adalah hasil dari pembelajaran secara bertahap, berulang-ulang, terus menerus, dari waktu ke waktu, sehingga akhirnya menjadi apa yang disebut sebagai kompetensi.
Di masa lalu istilah “kompetensi” lebih diperuntukkan bagi kemampuan-kemampuan yang bernuansa Hard Skill dan berbagai keterampilan (Art, Sport, dsb.), tetapi ketika Maxwell Maltz menulis buku Pyschocybernetics, maka kitapun mulai dapat “merasakan” bahwa hampir semua hal yang dialami manusia dalam kehidupan, nyaris semua dapat dikaitkan dengan teori kompetensi ini.
Ketika seseorang cenderung untuk mudah mencari uang, maka dapat kita katakan bahwa yang bersangkutan sudah berada di wilayah yang sangat kompeten untuk “mencari uang”.
Ketika seorang cenderung untuk selalu mengalami kesialan atau musibah, maka dapat juga kita katakan bahwa yang bersangkutan sudah memiliki kompetensi untuk selalu mengundang “sial atau musibah”.
Demikian juga dengan berbagai perilaku, misalkan sabar, pemarah, tekun, teliti, ceroboh, dsb. Semuanya adalah bentuk lain dari apa yang dinamakan sebagai “kompetensi”.
Secara sederhana kompetensi adalah sesuatu yang berasal dari hal yang dilakukan berulang-ulang, secara terus menerus, sehingga akhirnya menjadi suatu kemampuan atau kecenderungan yang ter-install di pikiran bawah sadar, dimana cara kerja dari kompetensi inipun berlangsung tanpa disadari sepenuhnya oleh sang pelaku, sehingga dinamakan sebagai “Unconscious Competence” atau komptensi di tingkatan bawah sadar.
Hal yang sangat menarik, sebagian besar kompetensi, terutama kompetensi buruk atau komptensi yang merugikan, seringkali terbentuk melalui proses yang tidak disadari, atau proses yang terus mengalir secara alami yang seringkali dibentuk oleh lingkungan.
Ketika kita sudah menyadari bahwa seluruh komptensi seharusnya dapat dibentuk secara sadar (sesuai kehendak), maka kita mulai dapat memprogram secara bertahap, setiap kompetensi baru yang kita inginkan.
Pada dasarnya terdapat 4 tahap proses sampai dengan sesuatu hal benar-benar berubah menjadi suatu kompetensi. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
- Unconscious Incompetence
Kita bahkan tidak menyadari apa yang tidak menjadi kompetensi kita, atau kita tidak tahu apa yang tidak kita ketahui.
- Conscious Incompetence
Kita mulai menyadari apa yang belum menjadi kompetensi kita, atau kita mulai mengetahui apa yang belum kita ketahui.
- Conscious Competence
Kita mulai melakukan mencoba melakukan suatu kompetensi, tetapi kita melakukannya masih secara sadar, atau kita mulai tahu apa yang kita ketahui. Tahapan ini adalah tahapan yang paling sulit, atau tahapan berlatih.
- Unconscious Competence
Kita sudah dapat melakukan sesuatu secara kompeten, tanpa perlu lagi kesadaran, atau berjalan secara auto-pilot, kita sudah tidak lagi memikirkan hal-hal yang kita ketahui. Pada tahapan inilah sesuatu itu sudah mencapai Mastership. Seperti halnya seseorang yang mengendarai sepeda, dimana ia tidak lagi perlu memikirkan bagaimana ia dapat melakukan hal ini, tetapi ia dapat melakukan secara baik.
Dari uraian di atas, kiranya tidak ada kata terlambat bagi kita semua untuk mengubah arah kehidupan, agar benar-benar sesuai dengan apa yang kita inginkan, yaitu dengan cara memperincinya menjadi satuan-satuan kompetensi yang kita perlukan, dan segera kita bergerak dan berlatih terus menerus, agar setahap demi setahap semua hal itu menjadi sesuatu yang berada di wilayah “Unconscious Competence”.
***